Thursday, June 4, 2020

SISTEM PERTANAMAN POLIKULTUR

sistem pertanian polikultur
Luas lahan pertanian dari waktu ke waktu makin sempit dengan adanya peralihan fungsi dan tata guna lahan pertanian menjadi lahan pemukiman, perdagangan, perindustrian dan perkantoran. Sedangkan kebutuhan pangan masyarakat makin meningkat dengan makin bertambahnya jumlah penduduk. Perlu upaya yang dilakukan melalui intensifikasi, ektensifikasi maupun diversifikasi dengan tujuan utama adalah untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Dari ketiga upaya tersebut yang memungkinkan untuk dilakukan adalah melalui intensifikasi pertanian yaitu usaha untuk mengoptimalkan lahan pertanian yang ada. Upaya seperti ekstensifikasi peluangnya kecil karena terbatasnya lahan pertanian yang produktif. Dengan demikian upaya intensifikasi dapat diwujudkan dengan menerapkan bentuk sistem tanam pertanaman ganda (polikultur).

Penanaman campuran merupakan sistem pertanaman dua atau lebih jenis tanaman yang di tanam pada sebidang tanah dengan musim tanam yang sama. Salah satu bagian system tanaman ini adalah POLA TANAM TUMPANGSARI yang bisa meningkatkan efisiensi lahan, pemanfaatan cahaya, air dan hara, mengontrol gulma, hama dan penyakit serta merupakan jalur alternatif untuk pertanian yang berkelanjutan (Lithourgidis et al. 2011). Penelitian tumpangsari jagung dan kedelai telah banyak dilaporkan, pengaturan jarak tanam dengan kepadatan populasi yang lebih rendah meningkatkan hasil berat kering dan Indeks Luas daun pada jagung, tetapi menurunkan transmisi cahaya bagi kedelai (Prasad dan Brook, 2005), peningkatan populasi menurunkan produksi kedelai tetapi meningkatkan produksi jagung (Muoneke et al, 2007), tumpangsari jagung kedelai menurunkan hasil kedelai 59 – 75% dibandingkan dengan monokultur (Kipkemoi et al,. 2002). Tumpangsari jagung dengan kedelai pada komposisi jagung kedelai 1 : 1 menekan produksi pertumbuhan kedelai yang terjadi akibat dominansi tanaman jagung. Ratio kompetisi atau Competitive Ratio (CR) merupakan evaluasi ratio kompetisi pada tumpangsari, semakin padat komposisi tanaman dalam tumpangsari maka semakin tinggi kompetisi (Ariel et al., 2013)

Kemampuan pola tanam tumpangsari mampu memperbaiki tingkat kesuburan tanah melalui fiksasi Nitrogen pada legume dibandingkan dengan monokultur (Lithourgidis et al., 2011). Keuntungan secara agronomis dari pelaksanaan sistem tumpangsari dapat dievaluasi dengan menghitung Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL). Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL) secara umum didapatkan dengan membandingkan pola tumpang sari dengan monokultur, yang mana nilai NKL >1 berarti menguntungkan (Li et al., 2001; Suwarto et al., 2005; Ghulamahdi, et al, 2007). Contohnya, produksi tumpangsari jagung dengan kacang hijau menunjukkan NKL 1,40, artinya diperoleh efisiensi penggunaan lahan sebesar 40% (Khan et al., 1992).

Sumber:
Ghulamahdi M, Aziz SA, Melati M, Dewi N, Rais SA. 2007. Pengembangan budidaya jenuh air tanaman kedelai dengan sistem tumpangsari padi kedelai di lahan sawah. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian yang Dibiayai oleh Hibah Kompetitif. Bogor, 1-2 Agustus 2007

Kipkemboi, J., Van Dam, A. A., Ikiara, M. M., & Denny, P. (2007). Integration of smallholder wetland aquaculture–agriculture systems (fingerponds) into riparian farming systems on the shores of Lake Victoria, Kenya: socio‐economics and livelihoods. Geographical Journal, 173(3), 257-272.

Lithourgidis, A. S., Dordas, C. A., Damalas, C. A., & Vlachostergios, D. (2011). Annual intercrops: an alternative pathway for sustainable agriculture. Australian journal of crop science, 5(4), 396.

Muoneke, C. O., Ogwuche, M. A. O., & Kalu, B. A. (2007). Effect of maize planting density on the performance of maize/soybean intercropping system in a guinea savannah agroecosystem. African Journal of Agricultural Research, 2(12), 667-677.

Prasad, R. B., & Brook, R. M. (2005). Effect of varying maize densities on intercropped maize and soybean in Nepal. Experimental Agriculture, 41(3), 365-382.

No comments:

Post a Comment