Sunday, May 12, 2013

Malu Aku Menatap Wajah Saudaraku Para Petani


Ketika menatap Indonesia di abad 21 ini
Tampaklah olehku ratusan ribu desa
Jutaan hektar swah, ladang, perkebunan, peternakan, perikanan
Di pedalaman, di pantai dan di lautan
Terasa olehku denyut nadi irigasi
Pergantian cuaca, kemarau dan banjir datang dan pergi
Dan tanah airku yang digebrak krisis demi krisis
Seperti tak habis-habis terpincang-pincang dan sempoyongan

Berjuta wajahmu tampak olehku
Wahai saudaraku petani, dengan istri dan anakmu
Garis wajahmu di abad 21 ini masih serupa dengan garis-garis wajahmu abad yang lalu
Garis-garis penderitaan berkepanjangan
Dan aku malu, aku malu padamu

Aku malu padamu, wahai petani di pedesaan
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani
Beras yang masuk ke perut kami, harganya kalian subsidi
Sedangkan pakaian, rumah, dan pendidikan anak kalian
Tak pernah kami orang kota kepada kalian petani, ganti memberikan subsidi

Petani saudaraku, aku terpaksa mengaku
Kalian selama ini kami jadikan obyek, belum lagi jadi subjek
Berpuluh-puluh tahun lamanya
Aku malu
Hasil cucuran keringat kalian berbulan-bulan
Bulir-bulir yang indah, kuning keemasan
Dipanen dengan hati-hati penuh kesayangan
Dikumpulkan dank e dalam karung dimasukkan
Tapi, ketika sampai kepada masalah penjualan
Kami orang kota yang menetapkan harga
Aku malu mengaatakan ini adalah suatu bentuk penindasan
Dan aku tertegun menyaksikan gabah yang kelian bakar itu
Bau asapnya merebak ke seantero bangsa

Demikian siklus pengulangan dan pengulangan
Hidup kami dikota disubsidi oleh kalian petani
Karbohidrat yang dengan setia kalian sediakan
Harganya tak dapat kalian sendiri menentukan

Sedangkan kami orang perkotaan
Bila kami memproduksi sesuatu
Dan bila tentang harga, ada yang mencoba campur tangan
Kami orang kota akan berteriak habis-habisan
Dan mengacungkan tinju setinggi awan

Kalian seperti bandul yang diayun-ayunkan
Antara swasembada dan tidak swasembada
Antara menghentikan impor beras dan mengimpor beras
Swasembada, tidak swasembada
Menghentikan impor beras, mengimpor beras
Bandul yang bingung berayun-ayun
Bandul yang bingung diayun-ayunkan

Petani saudaraku, aku terpaksa mengaku
Kalian selama ini kami jadikan obyek, belum lagi jadi subjek
Berpuluh-puluh tahun lamanya
Aku malu

Di dalam setiap pemilihan umum dilangsungkan
Kepada kalian janji-janji diumpankan
Tapi sekaligus kea rah kepala kalian
Diacungkan pula tinju ancaman
Dulu oleh pemerintah, kini oleh partai politik
Dan kalian hadapi ini
Antara kesabaran dan kemuakan
Menonton dari kejauhan
DPR yang turun, DPR yang naik
Presiden yang turun, presiden yang naik
Nasib yang beringsut sangat lambat
Dan tak ku dengar dari mulut kalian
Sepatah katapun diucapkan

Sauradaku,
Di tengah krisis yang seperti yang tak habis-habis
Di tengah azab demi azab menimpa bangsa
Kami berdoa semoga yang selama ini menjadi objek
Dapatlah kiranya berubah menjadi subyek
Jangka waktunya pastinya lama
Tapi semua kita pulangkan
Kepada Tuhan
Ya Tuhan
Tolonglah petani kami
Tolonglah bangsa kami
Amiin

Oleh: Taufiq Ismail 

No comments:

Post a Comment