Tuesday, March 19, 2013

Pasir Pantai Kulon Progo: Tambang vs Pertanian


Pembangunan wilayah merupakan upaya mendorong perkembangan wilayah melalui pendekatan komprehensif mencakup aspek fisik, sosial, maupun ekonomi. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa pembangunan suatu wilayah tidak hanya mencakup pembangunan insfratruktur dan bangunan fisik lainnya. Akan tetapi, juga mencakup pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia yang berada pada wilayah tersebut. 

Di bidang pembangunan ekonomi pedesaan khususnya yang berorientasi pada sektor pertanian, lahan pantai termasuk lahan marginal. Lahan marginal adalah lahan yang mempunyai potensi rendah sampai sangat rendah untuk dapat menghasilakan suatu tanaman pertanian. Potensi yang rendah darilahan marginal ini disebabkan oleh sifat tanah yang tidak bisa menahan air, lingkungan yang panas dan gersang, serta adanya banyak angina yang juga membawa garam yang bisa berakibat racun bagi tanaman. 

Lahan pasir pantai selatan Kulon Progo DIY merupakan lahan yang didominasi oleh tanah pasir. Materi pasir ini diendapkan oleh aktivitas gelombang laut di sepanjang pantai. Pesisir pantai Kulon Progo sepanjang garis pantai dengan panjang ± 1.8 km, terbagi dalam 4 kecamatan dan 10 desa yang mempunyai wilayah pantai dengan kondisi pesisir hampir 100% pasir dengan kedalaman air tanah antara hingga 12 meter. Lahan pasir ini juga tersebar hingga 2000m dari peermukaan laut. Degan emikian diperkirakan luas lahan pasir pantai daerah Kulon Progo bisa mencapai 3600000 m2, atau sekitar 3600 ha. 

Lahan marginal yang ada juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat daerah pesisir pantai Kulon Progo. Pola kehidupan masyarakat pedesaan yang biasnya bergantung kepada kemurahan alam tidak terlihat di daerah ini. Masyarakat produktif pun banyak yang mencari pekerjaan ke kota-kota karena memang daerah yang tidak mendukung untuk melakukan usaha. 

Akan tetapi, semuanya berubah ketika salah seorang warga berhasil membudidayakan tanaman pertanian dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Keberhasilan salah seorang warga menjadi pemantik warga lain untuk melakukan hal yang sama. Lahan yang tandus, gersang, dan tidak bisa menghasilkan apa-apa kini telah berubah menjadi lahan pertanian yang subur yang hasilnya tidak hanya bisa untuk sekedar menyambung hidup, tetapi juga bisa memberikan kesejahteraan bagi semua masyarakat pesisir pantai di Kulon Progo. 

Penemuan tentang adanya pasir besi di daerah lahan pantai di Kulon Progo mungkin akan “merenggut” kesejahteraan masyarakat yang baru bisa dinikmati beberapa tahun terakhir ini. Beberapa perusahaan tambang besi dan mungkin juga sebagian orang dipemerintahan sudah berancang-ancang untuk merubah sumber penghidupan dan kesejahteraan masyarakat menjadi lahan tambang pasir besi. Mengurangi impor besi,meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan alasan-alasan mengapa tambang pasir besi harus ada di lahan pasir pantai daerah Kulon Progo. 

Kesejahteraan masyarakat, pembangunan, dan pengembangan wilayah sepertinya hanya akan menjadi semacam angan-angan karena jika diperhatikan, adanya tambang pasir besi tersebut lebih memberikan dampak buruk kepada masyarakat daripada dampak baiknya. Dampak tersebut meliputi dampak secara lingkungan fisik, sosial, maupun berdampak pada ekonomi masyarakat. 

Aktivitas yang berada di lingkungan pertambangan baik secara langsung maupun tidak langsung bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan. Tidak dipungkiri lagi bahwa nantinya akan tercipta lubang-lubang raksasa akibat kegiatan menggali pasir besi yang ada di lahan pasir pantai. Perubahan morfologi dan topografi merupakan keniscayaaan pada sebuah lahan tambang. Aktivitas yang melampaui daya dukung lingkungan membuat tanah menjadi tidak subur lagi, asam, dan bisa merusak ketersediaan air bersih yang merupakan salah satu kebutuhan pokok makhluk hidup. Selama ini, gumuk pasir yang berada di sepanjang pesisir merupakan “tembok” yang menghadang air laut agar tidak ke pemukiman. Gumuk pasir juga sedikit banyak menahan kencangnya angin laut sehingga menjadi tidak terlalu kencang ketika sampai ke pemukiman. 

Berdasarkan pengalaman yang sudah ada, jarang sekali atau bahkan tidak ada suatu bentuk pertanggungjawaban terhadap lingkungan ketika suatu tambang telah ditutup. Tidak adanya konservasi dan rehabilitasi bekas tambang-tambang yang selama ini sudah ada semakin meyakinkan bahwa jika di buka pertambangan di daerah Kulon Progo akan mengalami hal yang sama. Kerusakan lingkungan dan ekologi yang bahkan bisa menyebabkan dampak buruk terhadap kehidupan masyarakat tentunya hal yang setiap orang, setiapmasyarakat, dan setiap daerah tidak ingin mengalaminya. 

Mungkin memang ada AMDAL yang keluar untuk “merestui” keberadaan tambang tersebut. Akan tetapi sepertinya hal tersebut bukan hasil sebuah kajian mendalam mengingat adanya anggapan adanya keuntungan dan investasi yang besar dari tambang tersebut. Terbitnya Peraturan Daerah Daerah Istimewa Jogjakarta (Perda DIY) Nomor 2 Tahun 2010 yang menjadi dasar penetapan AMDAL seolah semakin menekankan bahwa tambang tersebut harus benar-benar ada. 

Dari sektor ekonomi, keberadaan tambang tersebut akan emnimbulkan dampak yang kurang lebih sama dengan dari sektor lingkungan fisik. Dampak buruk akan lebih dominan daripada dampak baiknya. Dengan investasi pertambangan yang bernilai US$ 500.000.000 (lima ratus juta dolar Amerika), jika dipikirkan secara sepintas pastinya akan membawa dampak bagi kesejahteraan masyarakat yang meningkat. Lagi-lagi, ketika dihadapkan pada pengalaman-pengalaman yang telah ada,maka kesejahteraan masyarakat hanyalah sebuah cita-cita (angan-angan). Nilai investasi sebesar itu nantinya hanya akan dinikmati oleh pemilik modal dan sebagian orang yang telah dipakai jasanya untuk mengegolkan proyek tersebut. Maksimal, masyarakat sekitar hanya akan dipakai sebagai pekerja pada tambang tersebut, sementara ketika tidak ada tambang, masyarakatlah yang memiliki lahan pasir pantai tersebut. 

Dari hasil pertanian bawang merah, petani akan mendapatkan penghasilan Rp53.085.977,48 untuk setiap hektarnya. Sementara untuk usaha tani komuditas cabai, petani memperoleh penghasilan sebesar Rp 8.668.116,68 untuk setiap hektarnya. Angka yang tidak sebesar investasi yang dikeluarkan pemilik modal untukmendirikan tambang. Tetapi angka yang kecil tersebut adalah yang sudah dimiliki petani saat ini. Angka yang merupakan hasil dari lahan miliknya sendiri, angka yang masih akan terus berkembang seiring meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pertanian di lahan pantai. Berbeda dengan nilai lima ratus juta dollar amerika yang belum tahu punya siapa dan bisakah masyarakat menikmati angka yang menggiurkan tersebut. Jangankan untuk anak cucu, angka yang sebesar itu pun mungkin tidak pernah bisa dinikmati oleh petani yang mungkin lahannya akan menjadi pertambangan pasir besi. 

Lahan tambang yang menggeser sumber usaha dan pendapatan masyarakat juga akanmemberikan dampak sosial yang kurang baik. Tergusurnya kepentingan rakyat kemudian memicu konflik antara rakyat dengan perusahaan tambang. Keberadaan tambang yang bermasalah dapat juga dipandang sebagai memenangkan kepentingan korporasi atas kepentingan rakyat. Sehingga tidak heran ketika rakyat bersuara keras terhadap keberadaan tambang di daerahanya.Dengan beralihnya masyarakat dari petani ke pekerja tambang juga bisa menurunkan etos kerja yang selama ini dimiliki oleh petani di lahan pasir pantai. Petani di lahan pasir pantai tentunya bekerja dan berpikir keras supaya apa yang di tanam di lahan pantai bisa menghasilkan sesuatu dengan maksimal. Berbeda dengan jika hanya bekerja di tambang yang mungkin hanya mengandalkan kekuatan fisik saja, mengingat kebanyakan petani di lahan pasir pantai juga berpendidikan rendah. 

Generasi muda yang mungkin juga mulai berminat di dunia pertanian kemungkinan akan meninggalkan daerahnya dan pergi ke kota-kota untuk mencari pekerjaan lain daripada hanya menjadi pekerja tambang. Dan yang lebih parah adalah jika nantinya terjadi konflik yang berkepanjangan antara masyarakat dengan pihak pertambangan yang biasanya dimenangkan oleh pihak pertambangan dengan membawa korban di masyarakat. Ya, konflik akan rawan terjadi mengingat adanya ketimpangan kesejahteraan antara pihak pertambangan dengan masyarakat sekitar. 

Dengan adanya banyak dampak kurang baik yang ditimbulkan, keberadaan dan akan dibukanya tambang pasir besi di daerah pesisir pantai Kulon Progo hendaknya dikaji kembali. Niatan untuk bisamenyejahterakan masyarakat di pesisir pantai bisa saja hanya dinikmati sebagia kecil orang. Pengembangan dan pembangunan wilayah hendaknya juga diserahkan kepada masyarakat. Dengan bertani masyarakat tidak hanya terpenuhi kebutuhan secara materi, tetapi, secara sosial masyarakat akan semakin kuat dengan adanya perhimpunan-perhimpunan tani. pemerintah hendaknya tinggal memberi fasilitas agar usaha pertanian di daerah pesisir pantai menjadi lebih maju. Dengan demikian, pembangunan bukan hanya tentang fisik, akan tetapi, dari sisi sosial dan ekonomi juga terpenuhi. Dan inilah yang menjadi hakikat dari pengembangan dan pembangunan wilayah. 


REFFERENSI 
Noor, M. 1996. Padi Lahan Marginal. Penebar Swadaya, Jakarta. 

Deny, R. Penataan Ruang dan Pembangunan Wilayah. Sejarah Penataan Ruang Indonesia(VII): 2-13 

Coutrier, Paul. 2012. Menakar Dampak Lingkungan Fisik-Sosial Akibat Penambangan Pasir Besi (1). www.sesawi.net/tambangpasirbesi.htm

Prasaja, Lilik. 2012.Serial Konflik Tambang: Pasir Besi di Kulon Progo. www.kompasiana.com/lilik/ekonomi/konfliktambang.htm

www.kompas.com

No comments:

Post a Comment